GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN LINGKUNGAN PEKERJAAN

M. Abdul Jumali, Mahasiswa Pascasarjana ITS, NIM : 2511204002

Anatomi telinga manusia dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu bagian luar (outer ear), bagian tengah (middle ear) dan bagian dalam (inner ear). Ketiga bagian tersebut memiliki komponen-komponen berbeda dengan fungsi masing-masing dan saling berkelanjutan dalam menanggapi gelombang suara yang berada di sekitar manusia. Secara fisik gendang telinga dapat berlubang karena beberapa hal yang bersifat traumatik, seperti tertusuk oleh benda-benda lancip yang masuk terlalu dalam hingga mencapai gendang telinga, retak pada tulang tengkorak, noise blast seperti ledakan yang sangat keras, percikan arang las pada proses pengelasan, atau karena percikan zat-zat kimia tertentu, misalnya asam. Selain penyebab-penyebab traumatik, lubang pada gendang telinga juga dapat terjadi karena adanya infeksi pada bagian tengah telinga yang menjalar hingga gendang telinga. Saat hal ini terjadi, terkadang akan keluar darah dari telinga. Gangguan lubang pada telinga menyebabkan gangguan pada sistem pendengaran manusia dan biasanya tidak disertai oleh rasa sakit. Sebagian besar kasus-kasus yang terjadi adalah temporary hearing loss dan umumnya gendang telinga yang berlubang dapat sembuh dengan sendirinya asal selama proses penyembuhan telinga aman dari kemasukan benda-benda apa pun, termasuk air (ASTINDO, 2011).

Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia. Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang, bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan kematian. (wikipedia). Berdasarkan KepMenKes No. 1405 Tahun 2002, kebisingan merupakan  diartikan sebagai terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan kesehatan. Kebisingan merupakan faktor fisika di tempat kerja dimana pemajanan faktor fisika ini dapat mempengaruhi dan atau membahayakan kesehatan. Akibat dari kebisingan ini penyakit akibat kerja berupa kecacatan yang ditimbulkan biasanya ketulian oleh jenis pekerjaan pada suatu industri. NAB kebisingan di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.13/MEN/X/2011 TAHUN 2011 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1978, dan Keputusan Menteri Kesehatan No: 405/Menkes/SK/XI/2002 besarnya rata-rata 85 dB-A untuk batas waktu kerja terus-menerus tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Selanjutnya apabila tenaga kerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari ketetapan tersebut, maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan adalah sebagai berikut.

Nilai Ambang Batas
Waktu Pemaparan Perhari Intensitas Kebisingan dalam DBA
8 Jam 85
4 88
2 91
1 94
30 Menit 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 Detik 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Catatan:
Tidak boleh terpajan lebih dari 140dBA, walaupun sesaat

(Indonesia, 2011)

Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Bising interior,

Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain.

b. Bising eksterior,

Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenis-jenis bising yang sering dijumpai antara lain meliputi:

  • Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.
  • Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.
  • bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.
  • Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain.

Sifat suatu kebisingan ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi suara, dan waktu terjadinya kebisingan. ketiga faktor diatas juga dapat menentukan tingkat gangguan terhadap pendengaran manusia. Kebisingan yang mempunyai frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada kebisingan dengan frekuensi lebih rendah. Dan semakin lama terjadinya kebisingan disuatu tempat, semakin besar akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu juga terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi tentang kebisingan, faktor tersebut berupa bentuk kebisingan yang dihasilkan, berbentuk tetap atau terus-menerus (steady) atau tidak tetap (intermittent).

Gangguan pada telinga, baik telinga luar, telinga tengah, maupun telinga dalam dapat menyebabkan ketulian. Dikenal tiga jenis gangguan pendengaran (Tambunan, 2005), yaitu:

1. Condutive hearing loss

Jenis gangguan ini diklasifikasikan sebagai masalah mekanis (mechanical hearing loss) karena menyerang bagian luar dan tengah telinga pekerja, tepatnya selaput gendang telinga dan ketiga tulang utama (hammer, anvil, dan stirrup) menjadi sulit atau tidak bisa bergetar. Akibatnya, pekerja menjadi agak sulit mendengar.

2. Sensorineural hearing loss

Sesuai dengan namanya, sensorineural hearing loss diklasifikasikan sebagai masalah pada sistem sensor, dan bukan masalah mekanis. Sensorineural hearing loss disebabkan oleh ketidakberesan pada bagian dalam telinga, khususnya cochlea.

3. Mixed hearing loss

Tuli gabungan disebabkan oleh kombinasi antara tuli konduktif dan tuli saraf. Jika kedua threshold konduksi menunjukan adanya kehilangan/gangguan pendengaran, namun porsi kehilangan lebih besar pada konduksi udara.

Kerusakan pendengaran manusia terjadi karena pengaruh kumulatif exposure dari suara diatas intensitas maksimal dalam jangka waktu lebih lama dari waktu yang diijinkan untuk tingkat kebisingan yang bersangkutan. Sumber kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari mesin-mesin untuk proses produksi dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan pekerjaan. Sumber-sumber tersebut harus diidentifikasi dan dinilai kehadirannya agar dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya mencegah dan mengendalikan pengaruh paparan kebisingan terhadap pekerja yang terpapar. Dengan demikian penilaian tingkat intensitas kebisingan di perusahaan secara umum dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yaitu:

a. Memperoleh data intensitas kebisingan pada sumber suara.

b. Memperoleh data intensitas kebisingan pada penerima suara (pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan).

c. Menilai efektivitas sarana pengendalian kebisingan yang telah ada dan merencanakan langkah pengendalian lain yang lebih efektif.

d. Mengurangi tingkat intensitas kebisingan baik pada sumber suara maupun pada penerima suara sampai batas diperkenankan.

e. Membantu memilih alat pelindung dari kebisingan yang tepat sesuai dengan jenis kebisingannya

Menurut Pramudianto yang dikutip oleh Babba (2007), pada prinsipnya pengendalian kebisingan di tempat kerja terdiri dari:

1. Pengendalian secara teknis

Meredam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk mengurangi getaran peralatan dari logam, mengurangi jatuhnya

2. Pengendalian secara administratif

Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar oleh kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang lebih rendah, cara mengurangi paparan bising dan melindungi pendengaran.

3. Pemakaian alat pelindung telinga

Pengendalian ini tergantung terhadap pemilihan peralatan yang tepat untuk tingkat kebisingan tertentu, kelayakan dan cara merawat peralatan.

Jenis-jenis alat pelindung telinga (Roestam, 2004) :

a.       Sumbat telinga (ear plugs), dimasukkan dalam telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga dapat mengurangi bising s/d 30 dB.

b.      Tutup telinga (ear muff), menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40-50 dB.

c. Helmet (enclosure), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi bising maksimum 35dB.

Guna mendeteksi terjadinya kebisingan dilakukan dengan menggunakan sound level meter. Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi. Tekanan bunyi adalah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan oleh getaran partikel udara karena adanya gelombang yang dinyatakan sebagai amplitudo dari fluktuasi tekanan. Jika kita mengukur bunyi dengan satuan Pa ini, maka kita akan memperoleh angka-angka yang sangat besar dan susah digunakan. Skala decibell ini hampir sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi, yang secara kasar sebanding dengan logaritma energi bunyi. Ini berarti bahwa energi bunyi yang ebanding dengan 10, 100, dan 1000 akan menghasilkan ditelinga pengaruh yang subyektif sebanding dengan logaritmanya, yaitu masing-masing 1, 2, dan 3. Bila skala logaritma ini dikalikan dengan 10 maka diperoleh skala decibell. Skala decibell ini menggunakan referensi ambang batas kemampuan dengar 20 mPa. Tingkat tekanan bunyi dari berbagai bunyi yang sering kita jumpai dinyatakan dalam skala Pa dan dB.

Setelah intensitas dinilai dan dianalisis, selanjutnya hasil yang diperoleh harus dibandingkan dengan standar yang ditetapkan (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.13/MEN/X/2011 TAHUN 2011) dengan tujuan untuk mengetahui apakah intensitas kebisingan yang diterima oleh pekerja sudah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan atau belum. Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensias tinggi (diatas NAB) dan kedua, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB), yaitu:Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian.

  • Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumber kebisingannya tidak diketahui.
  • Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti: meningkatnya tekanan darah dan tekanan jantung, resiko serangan jantung meningkat, dan gangguan pencernaan.
  • Reaksi masyarakat, apabila kebisingan dari suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.

Tingkat intensitas kebisingan rendah banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi. Secara spesifik stres karena kebisingan dapat menyebabkan dampak, yaitu:

  • Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.
  • Gangguan reaksi psikomotor.
  • Kehilangan konsentrasi.
  • Penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.

Sebelum dilakukan langkah pengendalian kebisingan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan dan damapak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui perspektif manajemen resiko kebisingan. Manajemen resiko yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk mengendalikan resiko yang mungkin timbul. Uraian tentang lingkungan kerja fisik tersebut dapat dipertegas bahwa dengan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya di lingkungan kerja diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan produktif bagi tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dan untu proses penyembuhan beberapa jenis kasus berat pada gendang telinga harus melalui operasi yang disebut tympanoplasty.

 Referensi :
Departemen Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 405/Menkes/SK/XI/2002. www.depkes.go.id
Hicks, Charles. Fundamental Concepts in the Design of Experiments.Florida : Saunders College Publishing. 1993.
McCormick,E.J and M.S. Sanders. Human Factor in Engineering and Design. New York : McGraw Hill Book Company, 1994.
Montgomery, Douglas. Design and Analysis of Experiments. New York : John Wiley & Sons Inc. 1991.
Muhaimin. Teknologi Pencahayaan. Bandung: Refika Aditama, 2001.
Nurmianto, Eko. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 1995.
Sudjana. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Penerbit Tarsito. 1995.
Sudjana. Metoda Statistika.. Bandung : Penerbit Tarsto. 1992.
Suma’mur. Hyperkes Kesehatan Kerja Dan Ergonomi. Jakarta: Muara Agung Dharma Bhakti, 1987.
Sutalaksana dkk. Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri, Bandung : ITB, 1979.
Tarwaka dkk. Ergonomi untuk keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS, 2004.
Wignjosoebroto, Sritomo. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya, 2000

About apligo

Kumpulan referensi Aplikasi Ergonomi
This entry was posted in Artikel Ergonomi and tagged , . Bookmark the permalink.

1 Response to GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT KEBISINGAN LINGKUNGAN PEKERJAAN

  1. 2509100100_Novia Febriani says:

    artikel ini sangat informatif karena membahas hal kecil yang kurang disadari oleh pekerja namun terkadang memiliki dampak yang serius.aturan tentang ambang batas suara yang diperbolehkan sudah diatur dengan baik, namun pengaplisaian di dalam dunia industri serta kesadaran pekerja masih kurang, terutama dalam industri skala kecil.

Leave a comment