Bahaya Tidak Menyeberang di Jembatan Penyeberangan atau Zebra Cross

Ditulis oleh : Putri Nida Nurmaram [2509100128], Mahasiswa Teknik Industri ITS – kelas Human Reliability

Jembatan Penyeberangan Orang
(http://hayreyh.blogspot.com)

Jembatan penyeberangan dan zebra cross merupakan salah satu fasilitas yang melengkapi tata tertib lalu lintas di negara ini. Tujuan adanya fasilitas ini adalah menjamin tingkat ke­ama­nan menyeberang yang lebih tinggi para pejalan kali di­banding dengan nekat menyeberang di tengah lalu lintas yang padat. Penggunaan jembatan penyeberangan ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan[1]. Seperti halnya

peraturan perundang-undangan yang lain, pelanggaran terhadap peraturan ini menimbulkan konsekuensi, dimana pejalan kaki yang menyeberang sembarangan bisa ditilang. Namun pada kenyataannya, konsekuensi ini tidak sepenuhnya dijalankan. Terbukti, dengan masih banyak ditemuinya pejalan kaki yang menyeberang di sembarang tempat. 

Kebiasaan masyarakat menyeberang sembarang tempat bisa terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah faktor kesalahan manusia. Jika ditinjau melalui kajian human reliability, faktor manusia ini bisa disebabkan kurang pengetahuan dan kebiasaan masyarakat. Kurang pengetahuan atau mistakes terjadi karena penyeberang tidak mengetahui keberadaan dan fungsi jembatan penyeberangan maupun zebra cross sehingga ia menyeberang di sembarang tempat. Sedangkan, kebiasaan masyarakat dapat dikaitkan dengan adanya lapses. Hal ini terjadi jika penyeberang mengetahui bahwa menyeberang jalan di sembarang tempat merupakan hal yang salah dan beresiko tinggi tetapi tetap  melaksanakannya[2]. Di sisi lain, seperti yang dituliskan pengamat sosial dan budaya dari Univer­si­tas Sahid Jakarta, Aa Bambang me­nyatakan jika dilihat dari ke­biasaan, masyarakat Indonesia mentalnya hanya ingin enaknya saja. Sehingga, lebih memilih menerobos jalan saja ke­timbang menggunakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)[3].

Selain dari faktor manusia, juga terdapat faktor yang berasal dari lingkungan. Faktor lingkungan tersebut adalah bangunan JPO yang rusak dan marka zebra cross tidak terlihat jelas, JPO yang dijadikan tempat pengemis untuk meminta- minta, berjualan, bahkan digunakan sebagai tempat buang air kecil. Tentunya, kondisi semacam ini semakin memperkuat keengganan masyarakat untuk melewati JPO. Selain itu, adanya tindak kejahatan yang terjadi di JPO juga membuat masyarakat resah dan merasa tidak aman melewati JPO dalam keadaan sendiri maupun di malam hari.

Nasib penyeberang jalan baik ketika berada  pada kondisi ideal. Dimana, untuk menyeberang terdapat zebra cross yang dilengkapi lampu pengatur lalu lintas, jembatan penyeberangan yang aman dan nyaman, dan di tempat yang dijaga oleh polisi atau satuan pengamanan. Selain itu, ketika kondisi lingkungan mendukung seperti ketika macet total dan ketika bertemu dengan pengemudi baik hati yang bersedia menghentikan kendaraan untuk memberi jalan bagi penyeberang. Namun tetap saja, kondisi ideal dan kondisi pendukung tersebut saja sangat sulit dijumpai.

Rendahnya penggunaan jembatan penyeberangan dan zebra cross di Indonesia menimbulkan permasalahan lalu lintas. Seperti yang kita ketahui, kegiatan menyeberang merupakan kegiatan yang membutuhkan kesabaran dan keberanian ekstra untuk menyeberang. Kesabaran ketika harus menunggu saat yang tepat untuk menyeberang dan keberanian untuk menembus diantara kendaraan yang tengah melaju di jalan raya. Ketika penyeberang gagal melakukan aksinya, resiko yang paling ringan adalah diteriaki atau diperingatkan melalui suara klakson.  Sedangkan, resiko terberatnya adalah tertabrak kendaraan yang sedang melaju.

Ada kalanya penyeberang jalan di sembarang tempat juga menimbulkan resiko bagi pengguna jalan lain, karena bisa jadi pengguna kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan karena menghindari penyeberang jalan. Hal ini senada dengan kasus kecelakaan pada 16 Januari 2012, dimana seorang pria bernama Anut (50) tertabrak Bus TransJakarta di Jl Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, karena menyeberang tanpa memanfatkan jembatan penyeberangan orang (JPO).Kecelakaan ini mengakibatkan penyeberang jalan mengalami luka di bagian kepala sedangkan bus TransJakarta bernopol B 7752 IS mengalami kerusakan di bagian depan. Lalu lintas juga tersendat karena posisi bus yang melintang keluar dari jalurnya [4] .

Kecelakaan disebabkan karakteristik dari beberapa faktor pada sebuah “wrong state” pada sistem, misalnya faktor manusia dalam kecelakaan yang berhubungan dengan karakteristik variabel manusia (pengalaman, kelelahan, kepatuhan, dll) dan jika digabungkan dengan karakter variabel lain yang tidak sesuai (layout jalan, lingkungan, lalu- lintas) dapat menyebabkan human error[5]. Untuk dapat menggambarkan kecelakaan tersebut hal yang penting penting adalah memahami human perceptual- cognitive- motor system producing all behavior, yang menyebabkan terjadinya error atau tidak [6].

Jika ditinjau dari penyeberang jalan, kejadian kecelakaan tersebut merupakan akibat dari serangkaian pengolahan informasi yang ditindaklanjunti dengan aktivitas yang beresiko menimbulkan bahaya. Adapun kegagalan yang dialami oleh penyeberang dapat dijelaskan sebagai berikut: [5]

a.      Failures at the information detection stage

Ada beberapa kemungkinan untuk terjadi hal ini. Pertama, penyeberang berada pada kondisi psikis yang tidak ideal yakni penyeberang terburu- buru, sehingga ia mengabaikan aturan. Kedua, penyeberang memiliki pengetahuan tentang menyeberang di JPO namun karena menggunakan JPO dinilai lebih jauh maka ia memilih jalan pintas. Kondisi ini juga didukung oleh sarana lalu- lintas yang masih memungkinkannya untuk menerobos memasuki area jalan raya.

b.      Failures at diagnostic stage

Kekeliruan penyeberang jalan dalam menduga kondisi jalan. Ia mempertimbangkan kondisi lalu lintas dan mengira dirinya mampu menerobos lalu- lintas yang kondisinya seperti itu.

c.       Failures at prognostic stage

Ketika penyeberang memulai aksinya dalam menerobos lalu lintas, ia memperkirakan dimana situasi tidak begitu berbahaya. Jika ia sudah berada di tengah jalan raya dan brda pada posisi yang berbahaya. Ia mengharapkan pengguna jalan lain yakni pengemudi untuk melakukan tindakan pengereman (tindakan sesuai aturan).

d.      Failures at the stage of deciding on the execution of a specific manoeuver

Penyeberang memilih untuk nekat menyeberang ditengah lalu- lintas yang ramai. Untuk menghindari bahaya ia berjalan menyeberangi jalan dengan cepat.

e.       Failures of psychomotor of taking action

Penyeberang berada dalam posisi berbahaya (nyaris tertabrak), dan ia tidak dapat melakukan tindakan penyelamatan diri secara cepat, yakni sejenak terdiam karena terkejut dan menyadari bahaya. Upaya penyelamatan diri yang dia lakukan juga terbatas karena ruang geraknya cukup sempit di jalan raya. Sehingga, ia memilih berlari menghindar ke arah yang lebih aman. Namun, jarak yang ditempuhnya tidak cukup aman sehingga masih tertabrak kendaraan meskipun konsekuensinya tidak begitu parah.

Sedangkan, jika ditinjau dari urutan kejadian maka kecelakaan yang ia alami, dapat dibagi kedalam 4 phase yaitu:[5]

a.      Driving Phase

Pada fase ini kegiatan yang berjalan pada sistem masih berjalan secara normal. Secara umum, masih terdapat keseimbangan anatara permintaan dan perilaku dari komponen sistem untuk merepon satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan pengemudi untuk mengontrol kecepatan maupun konsentrasi saat mengemudi.

b.      Rupture Phase

Fase ini terjadi saat kejadian tak terduga dalam hal ini penyeberang jalan, yang mengganggu atau menginterupsi jalannya bus sehingga keseimbangan sitem terganggu. Ditandai dengan keterkejutan pengemudi melihat adanya penyeberang di jalan.

c.       Emergency Phase

Fase ini merupakan upaya pengemudi untuk mengembalikan sistem pada kondisi normal. Kejadian pada fase ini bersifat dinamis dan temporal. Pada kasus diatas, hal yang dilakukan pengemudi untuk memanuver kondisi adalah mengerem kendaraan. Tetapi saat manuvernya gagal atau jarak perhentiannya kurang maka ia mencoba cara lain. Pengemudi berupaya untuk membelokkan arah kendaraan menghindari objek yang akan ia tabrak.

d.      Impact Phase

Fase ini merupakan tahap konsekuensi dari keputusan yang dipilih. Dimana, akibat dari kecelakaan diatas yaitu bus menabrak pembatas jalan penyeberang tersebut.

Berdasarkan analisa kasus diatas, dapat kita ketahui bahwa kejadiaan kecelakaan disebabkan oleh error yang dipicu oleh penyeberang jalan yang menyebabkan keseimbangan sistem terganggu. Sebagai akibat dari berubahnya sistem, pengemudi berupaya memanuver keadaan, tetapi gagal sehingga tetap terjadi kecelakaan, namun dengan dampak yang bisa dikatakan lebih rendah karena tidak memakan korban jiwa.

Kecelakaan seperti ada contoh kasus, dapat dicegah dengan budaya tertib berlalu- lintas seperti menyeberang di JPO atau zebra cross. Akan tetapi, belum banyak orang yang menyadari hal tersebut. Memang sulit untuk mewujudkan suatu masyarakat yang tertib. Meskipun mereka menyadari pentingnya untuk menaati peraturan yang berlaku demi keselamatan dan kenyamanan bersama. Sampai saat ini, beberapa cara telah dilakukan untuk merubah kebiasaan masyarakat dalam menyeberang. Namun, tidak jarang cara- cara yang dilakukan tidak berjalan secara efektif.

Salah satu cara yang dilakukan adalah perbaikan atau penambahan fasilitas. Namun, penambahan fasilitas juga perlu memperhatikan aspek kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kapasitas dan lokasi, agar tidak menimbulkan permasalahan berikutnya. Contohnya, puluhan warga Palembang, yang menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah kota untuk membatalkan pembangunan jembatan penyeberangan. Mereka beranggapan proyek bahwa pembangunan jembatan tersebut cenderung  berorientasi pada kepentingan komersil dibanding kebutuhan masyarakat.[7] Cara yang lain adalah dengan pemberlakuan sanksi yang tegas pada pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Perhubungan DKI, Udar Pristono. Jika pejalan kaki melanggar aturan akan dikenakan sanksi mulai dari pembuatan berita acara oleh Satpol PP, hukuman kurungan minimal 10 hari termasuk denda mulai dari Rp 100 ribu seperti diatur Perda.[8] Akan tetapi, pelaksanaan aturan ini masih jauh dari maksimal,karena kurangnya koordinasi dan pengawasan.

Mengubah kebiasaan menyeberang sembarang tempat tidaklah mudah. Karena perubahan membutuhkan tekad yang kuat dari para pelakunya serta dukungan yang kuat dari pemerintah melalui sistem yang baik. Dimana, harus ada suatu sistem yang memaksa masyarakat untuk tetap patuh pada aturan. Sistem yang bersifat sinergis antara ketersediaan fasilitas yang memadai, adanya kekuatan hukum, kontrol yang baik dari aparat pemerintah, dan kontinyuitas masyarakat dalam budaya tertib berlalu lintas.

Referensi

[1] Fasilitas Pejalan Kaki Berdasar Undang- Undang. (2011). [Internet].  Tersedia di : http://balai3.wordpress.com/2011/07/01/fasilitas-pejalan-kaki-berdasarkan-undang-undang/ . [Diakses pada 11 Mei 2012].

[2] Slide Presentasi Mata Kuliah Human Reliability Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Minggu ke- 2.

[3] Jembatan Penyeberangan DKI Belum Penuhi Keinginan Warga. (2011). Rakyat Merdeka Online. [Internet]. Tersedia di: <http://nusantara.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/04/25/25179/Jembatan-Penyeberangan-DKI-Belum-Penuhi-Keinginan-Warga->. [Diakses pada 11 Mei 2012].

[4] Pria Tertabrak Busway. (2012).  Jurnaline. [Internet]. Tersedia di : <http://jurnaline.com/2012/01/16/pria-tertabrak-busway/> [Diakses pada 11 Mei 2012].

[5] Elslande, Van Pierre; Naing, Claire; Engel, Ralf. 2008. Analyzing Human Factors in Road Accidents. TRACE.

[6] Fotta, Michele; Byrne, Michele ; Luther, Michele. Developing a Human error Modeling Architecture (HEMA).

[7] Warga Palembang Tolak Jembatan Penyeberangan. (2012). Gatra News. [Internet]. Tersedia di : <http://www.gatra.com/nusantara/sumatera/12183-warga-palembang-tolak-jembatan-penyeberangan>. [Diakses pada 11 Mei 2012].

[8] Menyeberang Sembarangan Bisa Dipenjara. (2011). Pelita Online. [Internet]. Tersedia di : <http://www.pelitaonline.com/read-metropolitan/9757/menyeberang-sembarangan-bisa-dipenjara/ > . [Diakses pada 11 Mei 2012].

[9] Sudah ada mengapa jarang digunakan?? . (2010). [Internet]. Tersedia di : <http://hayreyh.blogspot.com/2010/04/sudah-ada-mengapa-jarang-digunakan.html> [Diakses pada 9 Juni 2012]

About apligo

Kumpulan referensi Aplikasi Ergonomi
This entry was posted in Artikel Ergonomi and tagged . Bookmark the permalink.

3 Responses to Bahaya Tidak Menyeberang di Jembatan Penyeberangan atau Zebra Cross

  1. Artikel yg bagus. *jempol. Saya ingin memperkaya sedikit dari tinjauan ekonomi. Insentif & disinsentif yg diterima oleh penyeberang jalan jg sgt berpengaruh. Tadi ada contoh denda mulai dr 100 ribu bg penyeberang yg tidak lewat jembatan penyeberangan. Dalam benak si penyeberang, cost-nya sebenarnya tidak segitu. Ia akan memasukkan probabilitas tertangkapnya ke dalam cost. Misal, ia akan mengira2 bahwa dlm sebulan ada 3.000 penyeberang liar dan hanya 3 yg ditangkap, jd 0,1% probabilitas tertangkap. Maka cost baginya adalah 0,1% x 100ribu, yaitu 100 rupiah. Artinya, setiap ia menyeberang itu ia “mengeluarkan cost” 100 rupiah. Tentu ini disinsentif yg dipersepsi sgt kecil dan membuat ia tdk segan menyeberang. Jadi salah satu cara mengurangi penyeberang liar adalah meningkatkan cost bagi penyeberang liar, dgn cara meningkatkan denda dan meningkatkan probabilitas tertangkap. Berlaku jg buat pelanggaran2 lain termasuk korupsi. 🙂 Anyway, again, very nice article…

    ~Kreshna Aditya, 2599100078

  2. 2509100125 Yudi Sahdilah Nur says:

    Tulisan yang sangat menarik dan dibahas secara mendetail menyangkut permasalahan ini. Namun dari saya ada beberapa pendapat yang ingin saya berikan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadi saya menyangkut permasalahan ini.
    Yang pertama ialah analisa saya jika ditilik dari pengendara. Dalam hal ini, pengendara harus menjadi pihak yang juga mestinya harus sadar akan keberadaan JPO atau zebra cross. Pengendara tidak hanya melihat beberapa meter yang ada di depannya namun harus juga memliki visi (visualisasi) yang jauh kedepan ketika sedang berkendara, sehingga kejadian terburuk seperti yang dibahas oleh penulis dapat dihindari.
    Kedua ditilik dari sudut pandang penyebrang, memang banyak faktor yang menyebabkan penyebrang enggan untuk menggunakan JPO atau zebra cross. Kesadaran inilah yang seharusnya dibangun bersama mengenai pentingnya memperhatikan keselamatan di jalan.
    Hal terakhir yaitu ditilik dari pembangunan JPO atau zebra cross, pembangu7nan kedua hal ini sebelumnya harus disesuaikan dengan analisa yang tepat, pakah suatu jalan sesuai untuk dibangun JPO dan juga menyangkut ketepatan posisinya.Bisa juga ditambahkan bebrapa objek pembantu yang disertakan, misalnya peringatan untuk meningkatkan kesadaran penyebrang dan pengendara atau dengan pemasangan beberapa markah jalan yang sesuai bahkan dengan pelibatan teknologi otomasi di jembatan penyebrangan atau zebra cross dan masih banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk mengurangi resiko resiko yang sebelumnya telah dituliskan oleh penulis

  3. Artikel yang sangat menarik untuk dikaji

    Untuk mengamati fenomena yang terjadi ini, memang lebih baik agar dibagi kedalam beberapa pihak atau faktor yang terlibat. Faktor atau pihak yang terlibat didalam kegiatan penggunaan JPO dan Zebra Cross itu diantaranya adalah :
    1. Pengguna fasilitas
    2. Polisi lalu lintas
    3. Pemerintah
    4. Fasilitas
    5.Lingkungan

    Kelima faktor ini merupakan faktor yang terkait dengan hubungan dengan manusia baik interaksi antar manusia maupun interaksi antara manusia dengan fasilitas maupun lingkungannya.

    1. Pengguna Fasilitas
    Pengguna fasilitas ini terbagi menjadi pengguna fasilitas menurut fungsinya dan pengguna fasilitas yang tidak sesuai fungsinya. Pengguna fasilitas menurut fungsinya adalah orang yang menggunakan fasilitas penyeberangan tersebut untuk kegiatan menyeberang. Orang yang seharusnya menjadi pengguna seringkali malas menggunakan karena beberapa faktor. Faktor dari diri pengguna adalah karena keinginan untuk melakukan sesuatu secara cepat dan rasa malas untuk berjalan lebih jauh agar dapat menggunakan fasilitas tersebut. Juga kondisi dari calon pengguna fasilitas. Keadaan emosional dan fisik dari pengguna juga memengaruhi pengambilan keputusan. Hal ini juga terkait dengan faktor-faktor lainnya. Selain itu juga pengguna yang tidak menggunakan fasilitas tersebut sesuai fungsinya. Umumnya merupakan pedagang dan orang-orang yang bermaksud melakukan tindakan kriminal sehingga mengurangi kenyamanan dan rasa aman pengguna sesungguhnya. Faktor selain itu sudah dengan baik dijelaskan dalam artikel ini.

    2.Polisi lalu lintas
    Polisi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab sebagai pengatur lalu lintas dan penegakan hukum di lapangan seharusnya bersikap tegas dan konsisten dalam menerapkan hukum dan ketentuan yang ada. Seringkali ditemui polisi yang bertindak tidak sesuai prosedur dan tidak menjalankan ketentuan yang seharusnya. Hal ini justru meningkatkan perilaku tidak sesuai aturan karena pelaku merasa aman karena tidak ada hukuman bila melakukannya. Selain itu, ketidak percayaan masyarakat terhadap polisi juga dapat menimbulkan perilaku yang bertentangan dengan hukum yang ada sebagai bentuk perlawanan dan ketidaksetujuan terhadap tindakan beberapa polisi yang tidak tegas dan menyalahi aturan.

    3. Pemerintah
    Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi dan pembuat aturan dan tata-tertib yang berlaku seharusnya dapat membuat kebijakan jelas dan tidak menyulitkan. Selain itu pemerintah juga menjadi contoh dan memiliki sistem kontrol yang jelas. Sehingga pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku dapat segera ditindak dan diberikan sanksi yang tegas. Selain itu edukasi yang berkelanjutan perlu dilakukan

    4. Fasilitas
    Fasilitas penyeberangan berupa JPO dan Zebra Cross juga perlu untuk diperhatikan. Kontrol terhadap kondisi fasilitas dan pemeliharaan wajib dilakukan. Kondisi fasilitas yang kurang layak dapat membahayakan pengguna fasilitas dan menyebabkan calon pengguna enggan menggunakan dan lebih memilih menyeberang melalui tempat yang tidak dianjurkan. Hal itu tentu dapat menimbulkan kecelakaan. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan secara berkala dan akan lebih baik bila ada penjagaan pada daerah fasilitas tersebut pada waktu-waktu yang rawan sehingga membahayakan keselamatan pengguna fasilitas penyeberangan. Selain itu fasilitas pendukung yang diperlukan juga dapat membuat pengguna jalan lebih nyaman saat menggunakan fasilitas tersebut.

    5. Lingkungan
    Lingkungan ini terdiri dari lingkungan masyarakat, dan kondisi dari keadaan disekeliling fasilitas penyeberangan. Lingkungan masyarakat memegan peranan sangat penting bagi timbulnya perilaku yang tidak sesuai dengan peraturan. Menyeberang tidak melalui Zebra Cross dan JPO dianggapn hal yang umum dan wajar. Ketika masyarakat sudah “terdidik” untuk melakukan hal ini sejak kecil, hal ini menjadi sebuah kewajaran publik, sehingga perilaku ini akan terus ada. Oleh karena itu, peran berbagai kalangan juga diperlukan agar perilaku ini dapat berubah sedikit-demi sedikit walau membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Selain itu kondisi lingkungan yang tidak ideal atau tidak aman, juga salah satu faktor mengapa banyak orang tidak mau menggunakan fasilitas JPO dan Zebra Cross. Tindakan kriminal dan kondisi fasilitas merupakan beberapa penyebabnya.

    Interaksi faktor-faktor tersebut lah yang memicu munculnya perilaku ini sehingga solusi dari masalah ini juga harus melibatkan penanganan terhadap faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu kesadaran akan keselamatan diri sendiri pada berbagai hal, khususnya dalam kegiatan menyeberang jalan itu harus dimulai dari diri sendiri agar dapat menjadi contoh bagi yang lain. Selain itu, ajakan untuk tertib hukum dan perduli akan keselamatan diri juga harus terus dilakukan.

    Irham Abdul Ghafar
    2510100705

Leave a reply to Kreshna Aditya Cancel reply